Api
menggelinding begitu cepat. Berbentuk bulatan lidah-lidah lapar nan bejat.
Menjulur-julur, menunjukkan hasrat besar ingin melumat. Terlihat dari gelagat, sepertinya
ia ingin bermaksiat. Mencuat dan semakin mendekat.
Luapannya
yang terus menyambar semakin menunjukkan potensinya yang besar. Lidahnya tak
henti meliuk-liuk gansar. Tak ada tanda kesurutan yang terjidar. Malah terlihat
semakin gebyar. Gemerlap dan berbinar. Menggelepar.
Terawang
bambung. Hatinya sedang dikerumuni oleh awan-awan mendung. Sepertinya ada
amarah yang sedang ia tampung. Dan tak sanggup lagi untuk dibendung.
“Angin! Dimana kau! Keluar! Hadapi aku! Aku
sama sekali tak takut padamu.” Tak kuasa Api mencak-mencak. Sakit hati yang
membuatnya terus saja berdecak. Menunjukan marah yang semakin bergejolak.
Angin
terkaget. Tak biasanya Api teriak-teriak sepeti kernet. Mungkin ia sedang
terkena pelet sanro yang meleset.
Atau mungkin saja otaknya sedang koslet. Lihat saja dia yang mecak-mencak
dengan hanya menggunakan singlet. Bukan lagi songket tenunan ibunya yang
pantang untuk lecet.
“Ada
apa kau ini?” Angin menegur Api yang sedari tadi terus saja menggerutu.
GLEK!
“Dasar
kau yah! Beraninya kau berhembus ditempat Api bersemayam.” Api melayangkan satu
tamparan hebat.
PUAK!
Dapat dibayangkan dengan ilustrasi lambat.
Angin
tergelepar. Serangan api membuatnya jatuh terkapar. Untung ia tidak menjadi abu
dan debu yang lepas terbakar oleh Api yang berkobar. Hanya digampar. Tapi
kurasa, itu masih tergolong kategori sangar.
“Bukankah
sudah kukatakan padamu; jangan berhembus ditempatku! Tak boleh ada sedikitpun
Angin yang boleh lalu-lalang di sekitar permadani Api. Mengerti kau?”
“Tapi
kenapa?” Angin meratap heran. Kasihan juga.
“Kau
tahu? Api adalah sumber kekuatan abadi. Api adalah rahasia simpul kehidupan. Tak
ada cahaya jika tak ada Api.Bisa kau bayangkan jika tak ada cahaya?” mata Api
menyorot. Tajam.
“Itu berarti tak akan ada Malaikat. Tak akan
ada matahari. Karena Malaikat dan matahari keduanya bermuatan cahaya. Semua
tercipta dari cahaya. Bisa kau bayangkan jika tak ada Malaikat? Tentu Nabi
tidak akan bisa menyebarluaskan agama Allah karena tak menerima wahyu dari
Jibril, tentu kau akan menjadi miskin selama-lamanya karena tak mendapat rezeki
dari Mikail, tentu keserakahan,
kejahatan, kemaksiatan, kemunafikan akan terjadi dimana-mana karena tak ada
Rakib dan Atid yang mencatat amal kebaikan dan keburukan, lalu manusia akan
seenaknya masuk keluar surga karena tak ada Ridwan, penjaga pintu di sana.
Tentu para koruptor akan menjadikan neraka sebagai tempat pembuangan semua
orang yang menghalanginya untuk melancarkan aksinya berbuat kecurangan untuk dihukum bakar,
karena tak ada Malik yang menjaga pintu di depan neraka. Dan bukan hanya para
koruptor, semua orang akan menjadi makhluk yang semakin semena-mena karena saat
di dalam kubur tak ada Munkar—Nakir yang akan menanyai mereka seputar apa yang
telah mereka lakukan, dan pastinya, juga tak akan ada siksa kubur. Lalu, tentu
tak akan ada lagi manusia yang mengetahui kapan tiba saatnya hari akhir karena
tak ada Israfil yang akan meniupkan sangkakala sebagai tanda bahwa dunia
sebentar lagi berakhir. Dan tentu Israil akan menjadi pengangguran karena tak
akan ada manusia yang dapat bertahan hidup tanpa cahaya dari matahari.
Kesimpulannya; tak ada Api berarti tak ada matahari, tak ada Api maka tak ada
manusia dan tak ada Api itu berarti juga tak ada malaikat. Sedang Angin? Apa
yang dapat disuguhkannya? Kuyakin, kehidupan akan tetap berjalan walau tanpa Angin.
Api akan tetap bekobar walau tanpa Angin. Di dunia ini, tak ada yang butuh
Angin. Yang mereka butuhkan adalah Api. Kau dengar? Yang mereka butuhkan adalah
Api. Bukan Angin.”
Api
melonjak-lonjak. Tiba-tiba saja ia menjelma serupa badak. Yang cangkak juga
bengkak. Di lidahnya, beberapa butiran-butiran debu masih enggan untuk
beranjak. Walau bercak-bercak abu-debu itu sedikit tersamarkan karena biasnya
yang menggama lalu membuatnya menjadi
tak tampak.
Angin menghambur
layu. Rona matanya memancar sayu.