Laman

Senin, 30 Juli 2012

Gerutu Api

Api menggelinding begitu cepat. Berbentuk bulatan lidah-lidah lapar nan bejat. Menjulur-julur, menunjukkan hasrat besar ingin melumat. Terlihat dari gelagat, sepertinya ia ingin bermaksiat. Mencuat dan semakin mendekat.
Luapannya yang terus menyambar semakin menunjukkan potensinya yang besar. Lidahnya tak henti meliuk-liuk gansar. Tak ada tanda kesurutan yang terjidar. Malah terlihat semakin gebyar. Gemerlap dan berbinar. Menggelepar.
Terawang bambung. Hatinya sedang dikerumuni oleh awan-awan mendung. Sepertinya ada amarah yang sedang ia tampung. Dan tak sanggup lagi untuk dibendung.
 “Angin! Dimana kau! Keluar! Hadapi aku! Aku sama sekali tak takut padamu.” Tak kuasa Api mencak-mencak. Sakit hati yang membuatnya terus saja berdecak. Menunjukan marah yang semakin bergejolak.
Angin terkaget. Tak biasanya Api teriak-teriak sepeti kernet. Mungkin ia sedang terkena pelet sanro yang meleset. Atau mungkin saja otaknya sedang koslet. Lihat saja dia yang mecak-mencak dengan hanya menggunakan singlet. Bukan lagi songket tenunan ibunya yang pantang untuk lecet.
“Ada apa kau ini?” Angin menegur Api yang sedari tadi terus saja menggerutu.
GLEK!
“Dasar kau yah! Beraninya kau berhembus ditempat Api bersemayam.” Api melayangkan satu tamparan hebat.
PUAK! Dapat dibayangkan dengan ilustrasi lambat.
Angin tergelepar. Serangan api membuatnya jatuh terkapar. Untung ia tidak menjadi abu dan debu yang lepas terbakar oleh Api yang berkobar. Hanya digampar. Tapi kurasa, itu masih tergolong kategori sangar.
“Bukankah sudah kukatakan padamu; jangan berhembus ditempatku! Tak boleh ada sedikitpun Angin yang boleh lalu-lalang di sekitar permadani Api. Mengerti kau?”
“Tapi kenapa?” Angin meratap heran. Kasihan juga.
“Kau tahu? Api adalah sumber kekuatan abadi. Api adalah rahasia simpul kehidupan. Tak ada cahaya jika tak ada Api.Bisa kau bayangkan jika tak ada cahaya?” mata Api menyorot. Tajam.
 “Itu berarti tak akan ada Malaikat. Tak akan ada matahari. Karena Malaikat dan matahari keduanya bermuatan cahaya. Semua tercipta dari cahaya. Bisa kau bayangkan jika tak ada Malaikat? Tentu Nabi tidak akan bisa menyebarluaskan agama Allah karena tak menerima wahyu dari Jibril, tentu kau akan menjadi miskin selama-lamanya karena tak mendapat rezeki dari Mikail, tentu  keserakahan, kejahatan, kemaksiatan, kemunafikan akan terjadi dimana-mana karena tak ada Rakib dan Atid yang mencatat amal kebaikan dan keburukan, lalu manusia akan seenaknya masuk keluar surga karena tak ada Ridwan, penjaga pintu di sana. Tentu para koruptor akan menjadikan neraka sebagai tempat pembuangan semua orang yang menghalanginya untuk melancarkan aksinya  berbuat kecurangan untuk dihukum bakar, karena tak ada Malik yang menjaga pintu di depan neraka. Dan bukan hanya para koruptor, semua orang akan menjadi makhluk yang semakin semena-mena karena saat di dalam kubur tak ada Munkar—Nakir yang akan menanyai mereka seputar apa yang telah mereka lakukan, dan pastinya, juga tak akan ada siksa kubur. Lalu, tentu tak akan ada lagi manusia yang mengetahui kapan tiba saatnya hari akhir karena tak ada Israfil yang akan meniupkan sangkakala sebagai tanda bahwa dunia sebentar lagi berakhir. Dan tentu Israil akan menjadi pengangguran karena tak akan ada manusia yang dapat bertahan hidup tanpa cahaya dari matahari. Kesimpulannya; tak ada Api berarti tak ada matahari, tak ada Api maka tak ada manusia dan tak ada Api itu berarti juga tak ada malaikat. Sedang Angin? Apa yang dapat disuguhkannya? Kuyakin, kehidupan akan tetap berjalan walau tanpa Angin. Api akan tetap bekobar walau tanpa Angin. Di dunia ini, tak ada yang butuh Angin. Yang mereka butuhkan adalah Api. Kau dengar? Yang mereka butuhkan adalah Api. Bukan Angin.”
Api melonjak-lonjak. Tiba-tiba saja ia menjelma serupa badak. Yang cangkak juga bengkak. Di lidahnya, beberapa butiran-butiran debu masih enggan untuk beranjak. Walau bercak-bercak abu-debu itu sedikit tersamarkan karena biasnya yang menggama lalu membuatnya  menjadi tak tampak.
Angin menghambur layu. Rona matanya memancar sayu.

Minggu, 29 Juli 2012

Rapatkan Shaf

Ternyata masih banyak yang kurang paham atau bahkan tidak megerti sama sekali perihal shaf yang harus lurus dan dirapatkan.
**
Padahal ada banyak dalil yang menyinggung soal pelurusan dan perapatan shaf itu. Tapi di sini, saya ambil yang—langsung ‘kena’ ke masalahnya saja.
->Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah dia bersabda “:Lurus rapatkan  shaf kalian, karena lurus rapatnya  shaf adalah bagian dari kesempurnaan tegaknya shalat."   (HR. Bukhari No. 690. Muslim No. 433)
Saya khawatir, waktu juga energy para penegak shalat akan gugur sia-sia karena shalatnya tak sempurna hanya karena bertahan pada sajadah masing-masing. Tidak ingin merapat. 
Semoga hari selanjutnya akan lebih baik. 
Semoga Allah senantiasa mengeluarkan kita semua dari belenggu kejahiyiah--an. 

NB: sekedar tip
;Sajadah yang sizenya keterlaluan (setengah meter lebih beberapa senti) mending diganti dengan size yang lebih sederhana. Atau rela sajadahnya tertindis sajadah lainnya. Oh, atau ‘mau sujud di sajadah makmun sebelahnya’ tapi dari sepantauan saya, sepertinya itu rada sulit. Terhalang benteng gengsi atau mungkin (lagi-lagi pada pemahaman yang kurang)
***
Pengetahuan harus lebih diperluas lagi. Berikut pemahaman, harus lebih di perdalam lagi.


Minggu, 22 Juli 2012

Entah: Sebuah kebahagiaan


Entah ada angin apa saya ikuti sidang isbat malam (jumat) itu. Entah ada bisikan apa, saya bisa mikir; kalau malam ini dilakukan sidang isbat otomatis beberapa hari kedepannya penentuan awal Ramadhan akan menjadi sesuatu yang ‘hangat’
Dan entah kenapa, saya sontak membuat cerpen seputar penentuan awal Ramadhan itu. Dan entah kesekian kalinya saya kirim cerpen. Tapi entah kenapa, justru cerpen sekali—dua duduk, tidak di edit, langsung kirim (gak lihat-lihat), dan besoknya;
At 17:50, 1 Message come
Him: Wahyuni Gizhain Zainal, itu nama penamu, Uni?
Aneh. Padahal nama itu tak pernah sekalipun saya publish.
Him: Terbit ki cz, yang hilal.
 *
Alhamdulillah. Ini yang kesekian. Dan syukurlah, saya tidak perlu menunggu 7 tahun seperti Pak S. Gegge Mappangewa untuk melihat tulisan (abal-abal) saya terbit. J sebuah kebahagiaan. Thanks God.


Sabtu, 21 Juli 2012

Hilal Tampak Setelah Bungkam

Hilal Tampak Setelah Bungkam
*Wahyuni Gizhain  Zainal
termuat di rublik keker harian fajar, Sabtu, 21 Juli 2012
 
Cintailah Allah melebihi cintamu kepada apapun! Bahkan kepada orang tuamu sekalipun!
Mata tak sanggup menahan bulir-bulir air. Ia tersendat di pelupuk. Jiwa tertindih reruntuhan bangunan. Bangunan keyakinan Ayah dan Ibu yang terlalu kokoh.
Sepanjang malam kami berdebat. Entah bagaimana awalnya.. Kata yang terlontar seperti tak sempat terolah otak. Muncrat tersembur begitu saja.
“Kau anak durhaka!” hardiknya menunjuk hidungku. Wajah Ibu merah. Urat pelipisnya menonjol. Juga di lehernya.
“Aku hanya menjalankan apa yang kuyakini, Ibu. Tolonglah! Umurku sudah 17 tahun. Sudah bisa menilai yang benar dan salah .”
“Apa kurang jelas Anita? Hilal jelas tak tampak malam ini. Pengamat dengan menggunakan telescope dikerahkan ke 90 titik wilayah. Dan semua memberikan hasil yang sama. Apa kurang jelas hasil rapat isbat yang diumumkan oleh menteri agama, tadi? Satu Ramadhan jatuh pada hari Sabtu, 21 Juli lusa” Suara Ibu parau. Tangannya tak pernah lepas mngusap dada.
“Tapi Ibu, nyatanya sudah ada pengamat yang melihat hilal saat pukul 17:51 hingga 17:53 tadi sore” Suaraku sedikit lebih tinggi. Salah seorang pengamat di wilayah Batu Lappa, Pinrang yang berhasil melihat hilal lewat telescope.
“Halah! Otakmu sedang mengungsi kemana? Siapa yang bisa menjamin bahwa yang dilihat orang itu adalah hilal? Pukul 17:51 hingga 17:53 itu belum saatnya maghrib. Tidak masuk akal hilal muncul sebelum maghrib.”
“Ibu, Rasulullah saw. dulu juga pernah tidak bisa melihat hilal. Tertutup awan tebal. lalu ada seorang yang datang dan memberitahu bahwa ia telah melihat hilal. Kemudian setelah bersumpah maka Rasulullah saw. pun percaya dan menetapkan satu Ramadhan saat itu. Dari situ, kita bisa berpikir, Ibu. Rasulullah saja mempercayai satu orang yang katanya telah melihat hilal, apalagi kita, nyatanya ada tiga orang yang bersumpah telah melihat hilal sore tadi.”
 “Lancang kau Anita! Dari mana kau belajar memaki dan menggurui orang tua seperti itu, hah?” Tukas Ayah penuh amarah. Ia bergejolak. Mengerikan. Tangannya gatal ingin melayangkan tamparan.
“Aku tidak bermaksud memaki ataupun menggurui, Ayah. Aku hanya..”
“Hanya apa? Hanya ingin mendurhakai kami? Begitu?”
Aku menghambur ke depan TV. Lelah. Tak sanggup lagi berdebat. Terlihat di konverensi pers salah satu tokoh islam menyatakan akan memulai puasa esok hari, Jumat 20 Juli 2012. Dia juga tak menghadiri sidang isbat.
“Untuk apa? Toh pada akhirnya aspirasi rakyat tidak dipedulikan. Sudah ada keputusan sebelumnya. Walaupun ada sesi tanggapan, namun pada akhirnya tidak akan mengubah keputusan yang telah ditetapkan pemerintah sebelumnya.” Ujar salah satu tokoh islam itu. Aku mengangguk-angguk. Beberapa kali. Dan rupanya itu terlihat oleh Ayah.
“Kenapa mengangguk-angguk? Oo kau ingin ikut seperti dia? Menjadi orang sombong!”
“Dia itu terlalu sombong! Apa susahnya menghadiri rapat?” Ayah geram sendiri. Dahiku sedikit mengkerut. Sedikit saja. Tidak banyak. Juga tidak terlihat olehnya. Posisi dudukku sengaja membelakanginya.
“Mereka itu tak ubahnya seperti awan tebal penutup hilal. Sengaja mempertebal diri untuk mengelabui umat” Semoga mulut ayah tidak berbusa. Entah setan apa yang merasukinya.
Kepalaku gatal. Padahal setahuku tak ada kutu di sana.
“Perbedaan sepatutnya bukanlah menjadi alasan retaknya ukhuwah” batinku menjerit. Tak ada yang mendengar. Aku kekeh untuk berpuasa besok. Sedang Ayah dan Ibu lusa.
“Mau kemana kau?”
“Shalat tarawih, Ayah.”
“Siapa yang izinkan kau untuk keluar?” Terdiam. mengunci mulut rapat-rapat. Lalu melangkah pelan.
“Tidak boleh! Cepat masuk! Malam ini tak ada tarawih-tarawihan.”
“Tapi, Ayah. Biarlah aku menjalankan apa yang kuyakini dan Ayah jalankan apa yang Ayah yakini. Jangan halangi aku untuk beribadah, Ayah!”
“Baik. Kalau begitu pergilah beribadah beserta seluruh barang-barangmu! Keluar dari rumah malam ini!” Ayah berbalik lalu melangkah masuk. Ibu sudah tidak ada di tempat duduknya. Mungkin masuk kamar. Sudah tak peduli.
“Cintailah Allah melebihi cintamu kepada apapun! Bahkan kepada orang tuamu sekalipun!”
Kalimat itu uterus terngiang. Cintaku harus lebih besar kepada Allah melebihi apapun. Bahkan kepada orang tuaku sekalipun.
“Haruskan aku mengawali Ramadhan dengan mendurhakai orang tua karena meninggalkan rumah karena gara-gara ngotot berpuasa lebih awal dan ingin mengerjakan shalat tarawih?” Dilema. Kakiku masih kaku. Ingin kembali masuk atau melangkah keluar.
Dengan berat kakiku pun melangkah masuk. Shalat tarawih lebih baik kutunaikan di dalam kamar. Dengan begitu Ayah dan Ibu tidak akan tahu.
***
Kelopak mataku terbuka pelan. Subuh ini indah. Meski hening. Tak ada makan sahur bersama. Sangat pelan dan hati-hati semua kukerjakan sendiri. Masak sendiri. Makan sendiri. Cuci piring sendiri. Puasa sendiri. Di rumah hanya ada aku, Ibu dan Ayah. Sudah jelas mereka tak puasa hari ini. Hanya aku.
Sedikit khawatir. Mungkin mereka marah. Namun cinta itu harus terus bergejolak. Cinta kepada Allah harus lebih besar. Dengan modal cinta itu kan kusingkirkan beban cekam amarah yang akan melandaku.
Tak ada yang lebih penting yang harus kupikirkan selain beribadah kepadanya. Itulah kewajibanku sebagai makhluk dan haknya sebagai pencipta.
Ayam berkokok. Lilitan subuh perlahan mulai sirna. Tak sengaja mataku menengadah. Ada hasrat memandang langit yang mulai menerang.
Subhanallah. Terlihat ada bulan sabit. Sontak tubuhku bergoncang. Ke atas lalu ke bawah. Loncat kegirangan. Hilal kini muncul. Ia tampak dan aku melihatnya dengan mata telanjang. Tanpa telescope. Satu Ramadhan benar-benar jatuh hari ini, Jum’at 20 Juli 2012. Akan kubangunkan Ibu dan Ayah segera. Semoga mereka tak akan marah.
Pinrang, 20 Juli 2012