Laman

Sabtu, 07 Juli 2012

Penantian Kawan

Oleh: Wahyuni Zainal

Malam beranjak kelabu kawan. Kau yang kutunggu tak juga datang. Benang-benang pupus telah selesai terpintal, Kawan. Membentuk selendang pupus harapan. Malam masih sama. Engkau entah di mana.
Jalanan berbatu kususuri. Tak peduli bukit terjal atau lembah curam. Bagiku janji adalah hutang. Itu yang pernah tertoreh tujuh tahun lalu. Kau masih ingat? Kau berjanji akan datang. Tepat di hari ulang tahunku.
Dalam janjimu. Persimpangan jalan di seberang bukit menjadi tempat perjumpaan kita. Hari ini tanggal 7 Juli 2012, Kawan. Usiaku genap 22 tahun. Aku datang memenuhi janji. Menyusuri bukit. Namun seharian sudah mataku memandang. Tak juga ada tanda sosokmu akan kembali.
Aku pupus, Kawan. Kecewa. Kau membohongiku. Air mata jatuh bersamaan dengan harapan. Tak habis pikir, dimana hatimu?
Malam membingkai alam. Hitam. Matahari tertawan bukit, sebelum akhirnya tertelan horizon, Kawan. Ia lelah menemaniku yang lama terkurung dalam sangkar penantian. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat, Kawan. Kita terpisah karena orang tuamu berpindah mukim ke kota Makassar. Hingga kau juga harus ke sana. Dan itu terjadi tiba-tiba. Kita tak sempat mengucap kata berpisah.
Malam itu, entah sebagai pertanda. Tidurku berselimutkan gelisah. Mata terpejam. Mata terbuka. Berkatup-katup. Miring kiri, banting kanan. Kemudi lelapku mogok, Kawan. Ia tak mampu membawaku ke gerbang mimpi.
Paginya, kutemukan suratmu di ambang pintu. Kau menaruhnya ketika larut. Saat orang-orang telah tumbang. Tapi aku tidak, Kawan.
“Tina, aku tak yakin tak akan merindu, hari-hari bersamamu tentu meninggalkan jejak. Akan kita ulas jejak-jejak itu. Bukit telah kudaulat menyaksinya. Pada hari ulang tahunmu, aku akan datang! Tunggu aku di persimpangan sebrang bukit!” pelupuk mataku terlalu sempit, Kawan. Sedang air mata terlalu deras. Pelupuk tak mampu membendungnya. Jebol. Air mata mengalir. Dalam hati aku berkata; “Aku kan menunggumu.
***
Kecewa. Genap tujuh kali itu terjadi; Tujuh tahun aku menanti
Masa baktiku usai, Kawan. Kau tak datang. Sejak kepergianmu, sudah tujuh kali umurku bertambah tahun. Tujuh kali kumenunggumu di puncak bukit. Tapi tak kunjung datang. Bukit-bukit sepertinya lelah melihatku, Kawan. Terbelenggu dalam lembah janji dan penantian.
Mungkin kau sudah tak lagi ingat padaku, Kawan. Tapi aku tidak. Segala tentangmu masih segar mengisi otakku. Wajahmu. Tingkahmu. Tawamu. Semuanya. Aku adalah kawan kecilmu. Kau masih ingat? Kuharap kau tak lupa dengan itu, Kawan. Cukuplah janji kita yang terlupa olehmu. Tak usah kau tambah lagi dengan kau benar-benar telah lupa padaku.
Semasa kecil, seluruh waktu terhabiskan bersamamu. Memancing. Memanjat pohon milik Pak Gaje, tetangga kita yang mendapat award  kategori pemilik jambu terpelit. Hingga mengembala ke sebrang bukit. Semua masih segar dalam ingatanku, Kawan. Ah! Aku ingin menyorak kala teringat.
Seperti yang kau tulis dalam suratmu. Kita akan mengulas jejak yang pernah tertoreh. Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, Kawan. Lima hari yang lalu, Arie, sepupumu datang meminangku. Acara pernikahan kami akan berlangsung esok hari. Kaulah orang yang sangat kunanti akan datang di pesta kami.
Itu sebabnya, kuharap di hari ulang tahunku yang jatuh hari ini, kau akan datang. Lalu kita akan menghabiskan waktu bersama lagi. Sebelum kita terpisah kembali.
 “Anak perempuan sebenarnya menggendong peti emas di pundaknya!” ucapan kakek tiba-tiba terngiang, Kawan. Aku harus segera pulang. Sejuta harap bertemu denganmu kini sirna sudah. Hanya goresan gundah menemaniku pulang malam ini. Menurun mendaki bukit. Kuharap Kakek tak marah padaku.
***
Burung! Ku mohon sampaikan pesanku padanya
Pernikahanku tengah berlangsung, Kawan. Sepanjang mata menjelajah wajah para tamu-tamu yang hadir, tak ada sosokmu di antara mereka. Hingga acara selesai, penantianku masih nihil.
Hari ini, rencana aku akan diboyong ke luar negeri, Kawan. Arie yang telah sah menjadi suamiku mendapat pekerjaan di New York. Selaku istri yang baik, aku harus ikut dengannya. Mungkin kami akan menetap di sana.
Masa baktiku benar-benar telah usai, Kawan. Semoga tuhan akan mempertemukan kita esok. Mungkin bukan di hari ulang tahunku. Bukan di persimpangan jalan sebrang bukit.
***
Pesawat baru saja landing di Washington D.C. Amerika Serikat. Ponselku pun baru saja aktif. Ada pesan yang masuk; Gani, sahabat kecilmu dulu, datang ke rumah. Ia mencarimu, katanya ingin melepas rindu.
Pinrang, 7 Juli 2012