Hilal Tampak Setelah Bungkam
*Wahyuni Gizhain Zainal
termuat di rublik keker harian fajar, Sabtu, 21 Juli 2012
Cintailah Allah
melebihi cintamu kepada apapun! Bahkan kepada orang tuamu sekalipun!
Mata
tak sanggup menahan bulir-bulir air. Ia tersendat di pelupuk. Jiwa tertindih
reruntuhan bangunan. Bangunan keyakinan Ayah dan Ibu yang terlalu kokoh.
Sepanjang
malam kami berdebat. Entah bagaimana awalnya.. Kata yang terlontar seperti tak
sempat terolah otak. Muncrat tersembur begitu saja.
“Kau
anak durhaka!” hardiknya menunjuk hidungku. Wajah Ibu merah. Urat pelipisnya
menonjol. Juga di lehernya.
“Aku
hanya menjalankan apa yang kuyakini, Ibu. Tolonglah! Umurku sudah 17 tahun.
Sudah bisa menilai yang benar dan salah .”
“Apa
kurang jelas Anita? Hilal jelas tak tampak malam ini. Pengamat dengan
menggunakan telescope dikerahkan ke 90 titik wilayah. Dan semua memberikan
hasil yang sama. Apa kurang jelas hasil rapat isbat yang diumumkan oleh menteri
agama, tadi? Satu Ramadhan jatuh pada hari Sabtu, 21 Juli lusa” Suara Ibu
parau. Tangannya tak pernah lepas mngusap dada.
“Tapi
Ibu, nyatanya sudah ada pengamat yang melihat hilal saat pukul 17:51 hingga
17:53 tadi sore” Suaraku sedikit lebih tinggi. Salah seorang pengamat di
wilayah Batu Lappa, Pinrang yang berhasil melihat hilal lewat telescope.
“Halah!
Otakmu sedang mengungsi kemana? Siapa yang bisa menjamin bahwa yang dilihat
orang itu adalah hilal? Pukul 17:51 hingga 17:53 itu belum saatnya maghrib.
Tidak masuk akal hilal muncul sebelum maghrib.”
“Ibu,
Rasulullah saw. dulu juga pernah tidak bisa melihat hilal. Tertutup awan tebal.
lalu ada seorang yang datang dan memberitahu bahwa ia telah melihat hilal.
Kemudian setelah bersumpah maka Rasulullah saw. pun percaya dan menetapkan satu
Ramadhan saat itu. Dari situ, kita bisa berpikir, Ibu. Rasulullah saja
mempercayai satu orang yang katanya telah melihat hilal, apalagi kita, nyatanya
ada tiga orang yang bersumpah telah melihat hilal sore tadi.”
“Lancang kau Anita! Dari mana kau belajar
memaki dan menggurui orang tua seperti itu, hah?” Tukas Ayah penuh amarah. Ia
bergejolak. Mengerikan. Tangannya gatal ingin melayangkan tamparan.
“Aku
tidak bermaksud memaki ataupun menggurui, Ayah. Aku hanya..”
“Hanya
apa? Hanya ingin mendurhakai kami? Begitu?”
Aku
menghambur ke depan TV. Lelah. Tak sanggup lagi berdebat. Terlihat di konverensi
pers salah satu tokoh islam menyatakan akan memulai puasa esok hari, Jumat 20
Juli 2012. Dia juga tak menghadiri sidang isbat.
“Untuk
apa? Toh pada akhirnya aspirasi rakyat tidak dipedulikan. Sudah ada keputusan
sebelumnya. Walaupun ada sesi tanggapan, namun pada akhirnya tidak akan
mengubah keputusan yang telah ditetapkan pemerintah sebelumnya.” Ujar salah
satu tokoh islam itu. Aku mengangguk-angguk. Beberapa kali. Dan rupanya itu
terlihat oleh Ayah.
“Kenapa
mengangguk-angguk? Oo kau ingin ikut seperti dia? Menjadi orang sombong!”
“Dia
itu terlalu sombong! Apa susahnya menghadiri rapat?” Ayah geram sendiri. Dahiku
sedikit mengkerut. Sedikit saja. Tidak banyak. Juga tidak terlihat olehnya.
Posisi dudukku sengaja membelakanginya.
“Mereka
itu tak ubahnya seperti awan tebal penutup hilal. Sengaja mempertebal diri
untuk mengelabui umat” Semoga mulut ayah tidak berbusa. Entah setan apa yang
merasukinya.
Kepalaku
gatal. Padahal setahuku tak ada kutu di sana.
“Perbedaan
sepatutnya bukanlah menjadi alasan retaknya ukhuwah” batinku menjerit. Tak ada
yang mendengar. Aku kekeh untuk berpuasa besok. Sedang Ayah dan Ibu lusa.
“Mau
kemana kau?”
“Shalat
tarawih, Ayah.”
“Siapa
yang izinkan kau untuk keluar?” Terdiam. mengunci mulut rapat-rapat. Lalu melangkah
pelan.
“Tidak
boleh! Cepat masuk! Malam ini tak ada tarawih-tarawihan.”
“Tapi,
Ayah. Biarlah aku menjalankan apa yang kuyakini dan Ayah jalankan apa yang Ayah
yakini. Jangan halangi aku untuk beribadah, Ayah!”
“Baik.
Kalau begitu pergilah beribadah beserta seluruh barang-barangmu! Keluar dari
rumah malam ini!” Ayah berbalik lalu melangkah masuk. Ibu sudah tidak ada di
tempat duduknya. Mungkin masuk kamar. Sudah tak peduli.
“Cintailah Allah melebihi cintamu
kepada apapun! Bahkan kepada orang tuamu sekalipun!”
Kalimat
itu uterus terngiang. Cintaku harus lebih besar kepada Allah melebihi apapun.
Bahkan kepada orang tuaku sekalipun.
“Haruskan
aku mengawali Ramadhan dengan mendurhakai orang tua karena meninggalkan rumah
karena gara-gara ngotot berpuasa
lebih awal dan ingin mengerjakan shalat tarawih?” Dilema. Kakiku masih kaku.
Ingin kembali masuk atau melangkah keluar.
Dengan
berat kakiku pun melangkah masuk. Shalat tarawih lebih baik kutunaikan di dalam
kamar. Dengan begitu Ayah dan Ibu tidak akan tahu.
***
Kelopak
mataku terbuka pelan. Subuh ini indah. Meski hening. Tak ada makan sahur
bersama. Sangat pelan dan hati-hati semua kukerjakan sendiri. Masak sendiri.
Makan sendiri. Cuci piring sendiri. Puasa sendiri. Di rumah hanya ada aku, Ibu
dan Ayah. Sudah jelas mereka tak puasa hari ini. Hanya aku.
Sedikit
khawatir. Mungkin mereka marah. Namun cinta itu harus terus bergejolak. Cinta
kepada Allah harus lebih besar. Dengan modal cinta itu kan kusingkirkan beban
cekam amarah yang akan melandaku.
Tak
ada yang lebih penting yang harus kupikirkan selain beribadah kepadanya. Itulah
kewajibanku sebagai makhluk dan haknya sebagai pencipta.
Ayam
berkokok. Lilitan subuh perlahan mulai sirna. Tak sengaja mataku menengadah.
Ada hasrat memandang langit yang mulai menerang.
Subhanallah.
Terlihat ada bulan sabit. Sontak tubuhku bergoncang. Ke atas lalu ke bawah.
Loncat kegirangan. Hilal kini muncul. Ia tampak dan aku melihatnya dengan mata
telanjang. Tanpa telescope. Satu Ramadhan benar-benar jatuh hari ini, Jum’at 20
Juli 2012. Akan kubangunkan Ibu dan Ayah segera. Semoga mereka tak akan marah.
Pinrang, 20 Juli 2012